Kamis, 14 Februari 2013

Hadits pada Masa Rasulullah SAW


HADITS PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
A.    Pendahuluan
Periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits terjadi pada masa Rasul SAW Para sahabat hidup bersama Rasul SAW mereka dapat berinteraksi secara langsung, melihat, mendengar ataupun menyaksikan segala gerak-gerik yang dilakukan, diucapkan, bahkan taqrirnya Rasul SAW.
Keberadaan sahabat memiliki peranan penting dalam proses yang berkesinambungan, mereka seperti jembatan menuju perubahan dan peradaban. Mereka adalah generasi pertama yang mengukir sejarah yang telah berjalan ribuan tahun dan mereka adalah lulusan terbaik dari madrasah yang diasuh Rasul SAW Dalam menerima, menyampaikan, memelihara, sampai menyebarkan Alquran dan hadits. Para sahabat menggunakan kehati-hatian di tingkat level tertinggi. Para sahabat memiliki dasar pijakan dalam mengambil keputusan terutama dalam masalah menuliskan hadits, walaupun secara pribadi mereka memiliki catatan sendiri terhadap hadits-hadits yang mereka terima dari Rasul SAW
Secara garis besar pembahasan dalam makalah ini adalah membicarakan tentang hadits pada masa Rasul SAW, dengan rumusan makalah sebagai berikut:
a.       Jelaskan pengertian hadits, sunnah, khobar dan atsar ?
b.      Jelaskan perbedaan antara hadits, sunnah, khobar dan atsar ?
c.       Jelaskan pengertian dan perbedaan antara hadits qudsy dan hadits nabawi ?
d.      Jelaskan Hadits sebagai laporan di sekitar nabi ?
e.       Jelaskan bagaimana cara sahabat menerima hadits pada masa  ?
f.        Deskripsikan perbedaan tentang boleh atau tidaknya penulisan hadits d masa nabi ?

B.     Pengertian Hadits,Sunnah,Khobar dan Atsar
1.      Hadits
 Kata al-Hadits dalam kamus besar bahasa arab, berasal dari bahasa Arab “al-hadits” yang berarti baru, berita.  Ditinjau dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, dintaranya:
a.       al-jadid  الجديد(sesuatu yang baru ) lawan dari  al-Qadim القديم  (sesuatu yang dahulu).
b.      dekat (Qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’id)

c. warta berita (khabar), sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lain.[1]
Sedangkan hadits secara terminologi yaitu
ما اضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او نحوها.
“Segala sesuatu yang di sandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan(taqrir) dan sebagainya.”[2]
Sebagaimana dalam uraian di atas telah di sebutkan bahwa hadits mencakup segala perkataan, perbuatan, taqrir Nabi SAW. Oleh karena itu pada bahasan ini kami akan sedikit menguraikan tentang bentuk-bentuk hadits Qauli, Fi’li, Taqrir, Hammi, dan Ahwali.
1.      Hadits Qauli
yang di maksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah beliau ucapkan semasa hidupnya. Seperti hadits yang berbunyi:

إنما الاعمال بالنية و إنما لكل امرء ما نوي
“Bahwasanya segala amal perbuatan itu harus di dasari dengan niatdan bagi setiap orang itu memperoleh apa yang di niatkan”(HR.Bukhori-Muslim).
2.      Hadits Fi’li
yang di maksud dengan perbuatan adalah penjelasan praktis terhadap peraturan syari’at yang belum jelas pelaksanaanya, seperti hadits yang berbunyi:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي على راحلته حيث توجهت به , فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة.
“Konon Rosulullah SAW sholat di atas kendaraan (menghadap qiblat).Apabila beliau hendak sholat fardhu , beliau turun sebentar ,terus menghadap qiblat ”(HR.Bukhori)
3.      Hadits Taqriri
Taqrir adalah keadaan ketika beliau mendiamkan , tidak menyanggah atau menyetujui apa yang telah di lakukan dan di katakana oleh para sahabat di hadapan beliau.Contoh taqrir adalah perbuatan sahabat yang bernama Kholid bin Walid. seperti hadits yang berbunyi:
Dalam salah satu jamuan makan, Kholid bin walid menyajikan daging biawak dan mempersilahkan nabi untuk menikmatinya, kemudian nabi menjawab:
لا , ولكن لم يكن بارض قومي فأجدني أعافه !) قال خالد : فاجتززته , فأكلته , ورسول الله صلعم ينظر إلي.

“ Tidak (maaf) , Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku , aku jijik padanya. Kholid berkata, segera aku memotongnya dan memakanya, sedangkan Rasulullah SAW melihat kepadaku”.( HR.Bukhori-Muslim).
4.      Hadits Hammi
Yang di maksud hadits hammi adalah hadits yang berupa hasrat Nabi Muhammad SAW yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.
حين صام رسول الله صلى الله  عليه و سلم يوم عا شوراء و أمر بصيامه, قالوا يا رسول الله إنه يوم تعظّمه اليهود والنصارى فقال إذا كان العام المقبل إن شاء الله صمن اليوم التاسع(رواه مسلم)
 “Ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan memperintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi ! hari ini adalah hari yang di agungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Nabi SAW bersabda: Tahun yang akan datang insyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. (HR. Muslim)
5.      Hadits Ahwali
Yang di maksud hadits Ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW. Yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Seperti hadits yang di katakan oleh al-Barra’ dalam sebuah hadits riwayat Bukhori, sebagai berikut:
كان رسول الله صلى الله عليا و سلم أحسن الناس وجها و أحسنه خلقا ليس با لطويل البائن ولا بالقصير(رواه البخارى)
“Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh, keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”. (HR. Bukhori)[3]


2.      Sunnah
            Menurut bahasa sunnah berarti
الطريقة محمودة كانت اومذمومة
            “Jalan yang di tempuh, baik sifatnya terpuji maupun tercela”
            Sunnah juga berarti sesuatu yang sudah biasa di lakukan atau yang telah menjadi tradisi. Bentuk jamak (plural) dari kata sunnah adalah sunan (سنن). [4]
sedangkan sunnah secara istilah menurut ahli hadits adalah
ما أثر عن النّبي صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقيّة أو سيرة, سواء كان قبل البعثة أو بعدها.
“Segala yang bersumber dari nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup. baik sebelum nabi SAW di angkat menjadi Rasul maupun sesudahnya”.[5]
3.      Khabar
Khabar secara etimologis berarti berita. sedangkan khabar secara terminologis sebagian ulama mengatakan bahwa hadits dan khabar mengandung makna yang sama, keduanya mencakup segala riwayat, baik yang berupa dari Rasul (marfu’), dari sahabat (mauquf) maupun dari tabi’in (maqthu’).[6] Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah suatu yang datang selain dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut hadits. Ada juga yang mengatakan nahwa hadits lebih umum dan labih luas daripada khabar.[7]

4.      Atsar
atsar secara bahasa berarti bekas atau sisa dari sesuatu. Jejak langkah yang di tinggalkan seseorang disebut sebagai atsar.[8] Sedangkan atsar secara istilah adalah:
ما روي عن الصحابة ويجوز إطلاقه على كلام النّبيّ أيضا
“segala sesuatu yang di riwayatkan dari sahabat, dan boleh juga di sandarkan pada perkataan nabi SAW”.
            Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang di sandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’.
Dari keempat pengertian tentang hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagaimana urain di atas, dapat di tarik satu pengertian bahwa keempat istilah tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan maksud, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya.[9]

C.    Perbedaan antara Hadits, Sunnah,Kobar dan Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih. 
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai hadits, sunnah, khabar, dan atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama hadits, perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Hadits dan sunnah: Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
2.      Hadits dan khabar: Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".
3.      Hadits dan atsar: Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.[10] 

D.    Pengertian dan Perbedaan antara Hadits Qudsy dan Hadits Nabawi
1.      Hadits Qudsiy
Yang di maksud dengan hadits qudsiy yaitu:
كلّ حديث يضيف فيه الرسول صلّى الله عليه و سلّم قولا إلى الله عزّ وجلّ
“Setiap hadits yang Rasul SAW menyandarkan perkataannya kepada Allah ‘Azza wa  Jalla”
            Jumlah hadits Qudsy ini menurut syihab al-Din ibn Hajar al-Haytami dalam “Kitab Syarah Arba’in al-Nawawiyyah” tidak cukup banyak, yaitu berjumlah lebih dari seratus hadits.
Hadits Qudsy ini biasanya bercirikan sebagai berikut:
a.       Ada redaksi hadits qala/yaqulu Allahu
b.      Ada redaksi fi ma rawa/yarwihi ‘anillahi tabaraka wata’ala
c.       Dengan redaksi lain yang semakna redaksi diatas, setelah penebutan rawi yang menjadi sumber pertamanya, yakni sahabat.
            Bila tidak ada tanda-tanda demikian, biasanya termasuk hadits nabawi. Hadits Nabawi adalah hadits selain hadits qudsy, dimana hadits tersebut itu di sandarkan pada Rasulullah SAW.
Contoh hadits qudsy:
عن أبي ذرّ عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم فيما روى عن الله تبارك و تعالى أنّه قال يا عبادي إنّي
      حرّمت الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرّما فلا تظلّموا...(رواه مسلم)
Dari Abi Dzarr, dari Nabi SAW, Allah SAW berfirman:”Wahai hamba-hambaku, sungguh aku mengharamkan kedzaliman pada diri-ku, (oleh karena itu) aku menjadikannya diantara kamu sekalian hal-hal yang di haramkan, maka dari itu janganlah kalian pada berbuat dzalim...”(HR. Muslim)
Contoh hadits nabawi:
لا صلاة  لمن لم يقرأْْْْْْْْْْْْْْْْْْْ بفاتحة الكتاب (رواه مسلم)
"Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah Al-Kitab”. (HR. Muslim)      
Perbedaan hadits qudsy dengan al-Qur’an:
a.       Semua lafad alqur’an adalah mutawatir, terjaga dari perubahan dan penggantian karena ia adalah mukjizat, sedangkan hadits qudsy tidaklah demikian.
b.      Ada larangan periwayatan alquran dengan makna, sementara hadits qudsy tidak.
c.       Ketentuan hukum bagi al- Qur’an tidak berlaku bagi hadits qudsy, seperti larangan membacanya bagi orang yang berhadats, baik kecil maupun besar.
d.      Dinilai ibadah bagi yang membaca al-Qur’an, sementara pada hadits qudsy tidak berlaku demikian.
e.       Al-Quran bisa di baca untuk sholat , sementara hadits qudsy tidaklah demikian.
f.        Proses pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an dengan makna dan lafadz yang jelas-jelas dari allah, sedangkan hadits qudsy maknanya dari allah sementara lafadznya dari nabi sendiri.[11]

E.     Hadits sebagai Laporan di Sekitar Nabi
1.      Hadits sebagai Laporan di Sekitar Nabi
Hadits sebagai laporan disekitar nabi yaitu dari sudut pandang periwayat hadits merupakan dokumen data pernyataan,perbuatan maupun ketetapan dan persifatan atau perilaku. Semua data yang lolos seleksi merupakan laporan otentik di sekitar nabi yang bermanfaat mengenai sesuatu yang terhubung dan disandarkan kepada nabi saw.
Isinya yang disebut sunnah, memuat ajaran keagamaan.Artinya, sunnah itu suatu ajaran keagamaan yang faktanya termuat secara detail dalam hadits yang mencakup pesan keagamaan untuk menjalani kehidupan. Jika sunnah dibedakan dengan hadits, esensinya mengarah kepada arti bahwa sunnah adalah isi hadits, sementara hadits merupakan rumusan naskah yang merekam dan melaporkan sunnah itu. Jadi melalui hadits, segala sesuatu dai nabi saw sebagai laporan pernyataan, perilaku, persetujuan, tampilan fisiknya dapat diketahui.
2.   Cara Rasul SAW Menyampaikan hadits.
Ada tujuh cara Rasul SAW dalam menyampaikan hadits, yaitu:

a.       Tadarruj
            Tadarruj adalah suatu cara penyampaian Rasul SAW dalam memberikan pembelajaran hadits memakai metode yang sama dengan pembelajaran al-Qur’an yaitu  dengan  cara  bertahap, tahapan ini berpengaruh besar terhadap pengamalan
ajaran Islam di dalam masyarakat.
b.     Markaz At-Ta’lim  
Rasul SAW  memiliki pusat-pusat pembelajaran, seperti Dar al-Arqam bin Abdi Manaf di Makkah  yang digunakan sebagai markas dakwah Islam pada masa awal kenabian. Selanjutnya Rasul SAW menjadikan rumahnya menjadi pusat kegiatan, kemudian berkembang ke masjid-masjid. Bahkan tidak terbatas pada tempat tertentu, Rasul SAW bersedia menyampaikan pembelajaran di mana saja dan kapan saja dengan catatan tetap menyesuaikan kondisi pendengar dengan situasi pada saat itu, jika memungkinkan untuk dilakukan, maka Rasul SAW tidak akan membuang kesempatan yang ada.
c.       Husn At-Tarbiyah wa Ta’lim
Kebaikan pendidikan dan pengajaran yang diberikan Rasul SAW memberikan ketenangan tersendiri bagi para sahabat. Saat mengajar Rasul SAW adalah pribadi guru yang lembut dalam perkataan dan sopan dalam penyampaian, perhatian serta penuh kasih sayang, memiliki kedalaman ilmu, dan selalu siap mengulang penjelasan bagi sahabat yang belum faham.
d.       Tanwi’ wa Taghyir
Rasul SAW memberikan pengajaran dengan cara memilah dan membagi masalah yang dajarkan agar sahabat mudah memahami dan tidak jemu. Demikian juga beliau merubah pola-pola penyampaian dan pengajaran dengan variatif.
e.        Tathbiq Al-‘Amali
Rasul SAW tidak hanya memberikan penjelasan kepada sahabatnya tetapi juga  dalam  berbagai  kesempatan  ia  melakukan  praktek  langsung terhadap apa
yang disampaikannya.
f.        Mura’ah Al-Mustawiyat Al-Mukhtalifah
Dalam melakukan pengajaran Rasul SAW selalu mempertimbangkan kondisi objektif, psikologis dan kecerdasan orang yang bertanya kepadanya. Hal ini terlihat jelas ketika Rasul SAW ditanya tentang permasalahan yang sama, maka beliau menjawab persoalannya dengan jawaban yang tidak sama.
g.      Taisir wa’Adam At-Tasydid
Untuk menyebarkan  dan menyampaikan Islam, Rasul SAW menempuh jalan tegas, tetapi tetap memiih yang termudah dan terlonggar. Dalam mengajarkan hukum-hukum agama kepada kaum muslimin, begitu menggunakan metode paling mudah dan paling cepat diterima masyarakat. Rasul SAW dalam hal ini bersabda:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA:  Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Ringankanlah orang-orang (dalam masalah-masalah agama) dan janganlah membuatnya menjadi sukar bagi mereka dan berilah mereka kabar gembira dan jangan membuat mereka melarikan diri (dari Islam).” (HR. Bukhari)
h.      Ta’lim Al-Nisa
Rasul s.a.w bersabda :
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA: Beberapa orang perempuan memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk memberi mereka waktu secara terpisah selama sehari sebab kaum pria telah mengambil seluruh waktunya. Mendengar permintaan itu, Nabi Muhammad SAW menjadikan kepada mereka satu hari untuk memberikan pelajaran dan perintah-perintah agama… “ (HR. Bukhari)
Hadits  di atas   menerangkan bahwa Rasul SAW  bukan saja memperhatikan pendidikan untuk kaum pria saja, beliau bahkan menyediakan waaktu belajar khusus buat kaum wanita. Demikianlah cara-cara yang ditempuh Rasul SAW untuk menyampaikan pembelajaran, dan cara-cara ini membuktikan bahwa beliau adalah guru terbaik di dunia.
M. Syuhudi Ismail menuliskan Nabi Muhammad SAW hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasinya dengan masyarakat terjadi tidak hanya satu arah saja, tetapi juga dua arah secara timbal balik. Tidak jarang, Nabi Muhammad menerima pertanyaan dari sahabatnya, dan dalam kesempatan lain beliau memberi komentar peristiwa yang sedang terjadi. Karena itu hadits Nabi SAW ada yang didahului oleh sebab dan ada juga yang tanpa sebab.[12]

F.     Cara Sahabat Menerima dan Menyampaikan Hadits pada Masa Rasul
1.      Cara Sahabat Menerima Hadits
Para sahabat hidup bersama Rasul SAW mereka berinteraksi dengan Rasul SAW setiap harinya diberbagai waktu dan tempat. Walaupun tidak semua sahabat dapat bersama-sama berinteraksi secara rutinitas dengan Rasul SAW dan ketidakhadiran mereka disebabkan beberapa hal, diantaranya karena kesibukan akan tugas sehari-hari, karena tempat tinggalnya yang jauh, dan karena rasa malu jika bertanya secara langsung kepada Rasul
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi sasaran perhatian para sahaban t. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan sebagai pedoman hidup.[13]
Berdasarkan kondisi para sahabat yang beragam, M. Ajaj Al-Khatib menuliskan empat cara sahabat memperoleh hadits dari Rasul SAW yaitu sebagai berikut :
a.    Majlis – majlis Rasul
b.    Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Rasul
c.    Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin
d. Berbagai peristiwa dan kejadian yang disaksikan oleh sahabat sebagaimana Rasul SAW melaksanakannya.
Dari keempat cara tersebut, secara mendalam  dapat dibagi lagi pada dua cara, yaitu:
a.         Secara Langsung dan
b.        Secara Tidak Langsung
Adapun  maksud  secara  langsung  adalah para sahabat melihat, mendengar, dan menyaksikan secara langsung apa yang dilakukan oleh Rasulullah, baik saat mengikuti pengajian, atau dalam keadaan lain, di mana para sahabat berada bersama Rasul pada saat itu.      
Secara langsung dapat bertempat di majlis-majlis Rasul SAW Di majlis-majlis ini para sahabat bukan saja melihat dan mendengar Rasul SAW menyampaikan hadits, tapi lebih dalam daripada itu, mereka memahami dengan jelas apa yang telah disampaikan oleh Rasul SAW Di dalam pertemuan itu, para sahabat dapat bertanya dan mendapatkan jawaban perihal masalah pribadi, masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan kaum muslimin, masalah praktek keagamaan dan masalah – masalah lainnya.
Pengertian secara tidak langsung adalah para sahabat tidak langsung menerima hadits dari Rasul SAW, hal ini disebabkan karena kesibukan yang menghalangi atau karena jarak yang ditempuh untuk mengikuti pengajian Rasul SAW cukup jauh. Karena itu para sahabat yang hadir biasanya memberitahukan kepada mereka yang tidak hadir apa yang mereka dapat saat mengikuti majlis Rasul SAW, atau sebaliknya, dan juga ada sahabat disebabkan rasa malu untuk bertanya masalah pribadinya, ia menitipkan pertanyaan kepada sahabat lainnya untuk ditanyakan kepada Rasul SAW, atau Rasul SAW sendiri meminta istrinya untuk menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan kewanitaan.[14]
Berikut ini beberapa hadits Rasul SAW mengenai pembahasan cara sahabat menerima hadits dari Rasul SAW:
a.       Hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah :
“Diriwayatkan oleh Abu Bakrah : … Adalah tugas yang hadir hari ini untuk memberitahukannya kepada orang-orang yang tidak hadir (hari ini) sebab mereka yang tidak hadir barangkali lebih baik pemahamannya daripada mereka yang tidak hadir hari ini. “ (HR. Bukhari)
b.      Hadits yang diriwayatkan dari Ali RA :
“Diriwayatkan dari Ali RA: Aku sering keluar madzdza’ (cairan yang keluar dari kemaluan bukan karena melakukan hubungan seksual) maka aku meminta Miqdad untuk menanyakannya dan Nabi s.a.w  menjawab. ‘Cukuplah berwudhu”
c.        T.M. Hasbi Ash Shiddieqy menuliskan Umar Ibn Khaththab, menurut Riwayat al-Bukhary menerangkan :
“Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshar bertempat di kampung Umayyah Ibn Yazid, sebuah kampung yang juh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. Kalau dia yang pergi demikian juga. … “[15]
2.      Cara Sahabat Menyampaikan Hadits
Setelah mereka menerima hadits dari Rasul SAW, para sahabatpun menyampaikan hadits kepada sahabat lain yang tidak hadir. Ada perbedaan lafaz saat sahabat menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an dan saat menyampaikan hadits dari Rasul SAW, M. Noor Sulaiman menjelaskan jika berkenaan dengan wahyu, maka sahabat menyampaikannya secara lafdzi (harfiah) sebagaimana yang mereka terima dari Rasul SAW.[16]
Sedangkan penyampaian hadIts dapat  dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a.       Dengan lafaz asli atau disebut juga lafzhiyyah,
Maksudnya  adalah  mereka  melafazkan  sesuai  dengan lafaz  yang mereka terima dari Rasul. Sahabat yang melakukan cara ini karena kuat daya ingat dan daya hafalnya, di samping itu saat Rasulullah menyampaikan hadits yang khusus dalam kajian ini adalah hadits qauli.
b.      Dengan makna (ma’nawi)
Maksudnya para sahabat menyampaikan hadits yang isinya berdasarkan apa yang disampaikan Rasul SAW tetapi redaksinya disusun sendiri oleh mereka.

G.    Perbedaan tentang Boleh atau Tidaknya Penulisan Hadits di Masa Nabi
Pembahasan ini cukup menarik untuk dibahas, karena dalam sejarah penulisan hadits di masa Rasul SAW, beliau bukan saja pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits, akan tetapi juga pernah menyuruh untuk menuliskan hadits beliau.
M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa kebijaksanaan Nabi  tersebut telah menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahkan di kalangan sahabat Nabi, tentang boleh atau tidak bolehnya penulisan hadits.[17]
1. Larangan Penulisan Hadits
Rasul s.a.w pernah melarang para sahabat untuk menuliskan hadits, beliau bersabda :
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri : Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian mencatat Sunnahku. Barang siapa mencatat selain al-Quran, hendaklah ia menghapusnya. Dan ceritakan saja tentangku, tidak ada dosa atasnya. Barang siapa berbuat bohong mengatasnamakanku dengan sengaja (padahal aku tidak mengatakannya), hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya dari apa neraka. “ (HR. Muslim)
2.      Perintah Penulisan Hadits
Rasul SAW memerintahkan penulisan hadits melalui sabdanya :
“Dari Rafi’ Ibn Khudaij bahwa ia menceritakan, kami bertanya kepada Rasul SAW   ‘ Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak hadits, apakah boleh kami menuliskannya ? Rasulullah menjawab, ‘ Tuliskanah
oleh kamu untukku dan tidak ada kesulitan. “ (HR. Khatib)[18]
Kemudian hadits ‘Abd Allah ibn ‘Amr :
“ Dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr, aku berkata, (Bolehkah) aku menuliskan apa yang aku dengar dari engkau ? Rasulullah SAW menjawab, ‘Boleh’ Aku berkata selanjutnya, ‘ Dalam keadaan marah dan senang ? Rasul SAW menjawab lagi, ‘ Ya, sesungguhnya aku tidak mengatakan sesuatu kecuali yang haq (kebenaran). “ (HR. Ahmad)
Sikap ulama dalam menghadapi permasalahan dalam menuliskan hadits-hadits, menurut Ajjaj al-Khatib ada empat pendapat dalam rangka mengkompromikan dua kelompok hadits yang bertentangan sebagai berikut:
1.      Menurut Imam Bukhari, hadits Abu Sa’id al- Khudri di atas adalah mauquf dan karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Tetapi, pendapat ini ditolak, sebab menurut Imam Muslim hadits tersebut adalah sahih.
2.       Larangan menuliskan hadits terjadi pada masa awal Islam yang ketika itu dikhawatirkan terjadinya pencampuradukan antara hadits dengan al-Quran. Tetapi, setelah umat Islam bertambah banyak dan mereka telah dapat membedakan antara hadits dan al-Qur’an, maka hilanglah kekhawatiran itu dan, karenanya mereka diperkenankan untuk menuliskannya.
3.      Larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehannya diberikan kepada mereka yang hafalannya kurang baik seperti Abu Syah.
4.      Larangan tersebut bersifat umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus kepada mereka yang pandai membaca dan menulis sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuliskannya, seperti ‘Abd Allah ibn ‘Amr yang sangat dipercaya oleh Nabi SAW
Pendapat ‘Ajjaj al-Khatib dalam menghadapi perbedaan di atas yaitu menurutnya pendapat pertama dapat diterima bahwa hadits Abu Sa’id al-Khudri adalah sahih dan dapat dijadikan hukum, sedangkan tiga pendapat berikutnya, ‘Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa larangan menuliskan hadits dan al-Qur’an pada lembaran yang sama adalah logis dan dapat diterima, karena kekhawatiran terjadi percampur-adukan antara hadits dan al-Qur’an, begitu juga penulisannya di awal Islam dengan maksud agar umat lebih fokus terhadap Alquran. Namun, terkhusus bagi mereka yang sudah dapat membedakan antara al-Qur’an dan hadits, serta bagi mereka yang tidak kuat ingatnnya diperbolehkan untuk menuliskannya. Dan pada perkembangan selanjutnya saat umat Islam sudah bisa menghafal dan  memelihara Alquran dan mampu membedakan antara Alquran dan hadits, maka larangan menuliskan Hadits pun berakhir.[19]

H.    Kesimpulan
Rasulullah SAW adalah guru terbaik, sang motivator, dan penabur hikmah. Beliau memiliki cara agar pembelajaran tidak membosankan, agar para sahabat selalu tertarik untuk datang ke majlis pengajian, cara yang dipakai di antaranya tadarruj, markaz at-ta’lim, husn at-tarbiyah wa ta’lim, tanwi’ wa taghyir, tathbiq al-‘amali, mura’ah al-mustawiyat al-mukhtalifah, taisir wa’adam at-tasydid, dan ta’lim al-nisa.’
Cara sahabat dalam menerima hadits Rasul beragam, hal ini berdasarkan kondisi dari para sahabat itu sendiri, seperti kesibukan akan tugas-tugas mereka, tempat tinggal yang jauh, dan lain sebagainya, karena itu para sahabat dalam menerima hadits dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung, di antaranya   adalah dengan mengikuti langsung majelis-majelis pengajian yang dilakukan Rasul SAW, dan para sahabat yang tidak dapat mengikuti langsung majelis tersebut karena sebab tertentu akan mendapatkan informasi dari para sahabat lain yang hadir dalam majelis Rasul, sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari Rasul tanpa ada cela sedikitpun, baik dari segi lafaz maupun maknanya.
Mengenai penulisan hadits, Rasul pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits pada awal keIslaman, hal ini terjadi disebabkan adanya kekhawatiran akan tercampurnya dengan al-Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya Rasul memerintahkan penulisan hadits, karena jumlah umat Islam sudah semakin banyak dan mampu untuk membedakan antara hadits dan al-Qur’an ditambah lagi adanya para sahabat yang memiliki kemampuan dalam hal membaca dan menulis.
I.       Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan, semoga dengan pembahasan tadi kita dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hadits dan bisa menambah cakrawala pengetahuan terkait dengan ilmu-ilmu hadits.
Cukup sekian makalah yang dapat kami sajikan, bila ada kritik dan saran yang bersifat konstruktif, kami mohon untuk di sampaikan demi pembelajaran kita semua untuk menuju arah yang lebih baik.





































DAFTAR PUSTAKA


Suryadilaga Dr. M. Alfatih, dkk. 2010. ULUMUL HADIS. Yogyakarta : Teras.
Amin Prof. Dr. H. Muhammadiyyah, M.Ag. 2008. ILMU HADIS. Yogyakarta : Sultan Amail Press.
Supatra Drs. Munzier, MA. 2003.  ILMU HADIS . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ash-Shiddiqy T. M. Hasbi. 2010. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. cet.5. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Sulaiman M.Noor PL. 2008.  Antologi Ilmu Hadits, cet.1. Jakarta: Gaung Persada Press.
Ismail M. Syuhudi. 1992.  Metodologi Penulisan Hadits Nabi, cet 1.  Jakarta: Bulan Bintang.
Yuslem Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya.



[1] Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk, ULUMUL HADIS, (Yogyakarta : Teras, 2010), hlm. 20
[2] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag,  ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 1
[3] Drs. Munzier Supatra, MA, ILMU HADIS (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.18
[4] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag,  ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 4
[5] Drs. Munzier Supatra, MA, ILMU HADIS (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 7
[6] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag,  ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 4
[7] Drs. Munzier Supatra, MA, ILMU HADIS (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 15
[8]  Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag,  ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 4
[9] Drs. Munzier Supatra, MA, ILMU HADIS (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 15
[10] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag,  ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 7
[11] Drs. Munzier Supatra, MA, ILMU HADIS (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 16
[12] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag,  ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 28
[13] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,  cet.5 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010),  hlm. 10

[14] M. Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, hlm. 57
[15] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,  hlm. 26

[16] M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, cet.1 (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 15
[17] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penulisan Hadits Nabi, cet 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.  11
[18] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm. 98

[19] Nawir Yuslem, Ulumul HADITS (Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001),  hlm. 103