HADITS PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
A. Pendahuluan
Periode
pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits terjadi pada masa Rasul SAW
Para sahabat hidup bersama Rasul SAW mereka dapat berinteraksi secara langsung,
melihat, mendengar ataupun menyaksikan segala gerak-gerik yang dilakukan,
diucapkan, bahkan taqrirnya Rasul SAW.
Keberadaan
sahabat memiliki peranan penting dalam proses yang berkesinambungan, mereka
seperti jembatan menuju perubahan dan peradaban. Mereka adalah generasi pertama
yang mengukir sejarah yang telah berjalan ribuan tahun dan mereka adalah
lulusan terbaik dari madrasah yang diasuh Rasul SAW Dalam menerima,
menyampaikan, memelihara, sampai menyebarkan Alquran dan hadits. Para sahabat
menggunakan kehati-hatian di tingkat level tertinggi. Para sahabat memiliki
dasar pijakan dalam mengambil keputusan terutama dalam masalah menuliskan hadits,
walaupun secara pribadi mereka memiliki catatan sendiri terhadap hadits-hadits yang
mereka terima dari Rasul SAW
Secara garis
besar pembahasan dalam makalah ini adalah membicarakan tentang hadits pada masa
Rasul SAW, dengan rumusan makalah sebagai berikut:
a.
Jelaskan
pengertian hadits, sunnah, khobar dan atsar ?
b.
Jelaskan
perbedaan antara hadits, sunnah, khobar dan atsar ?
c.
Jelaskan
pengertian dan perbedaan antara hadits qudsy dan hadits nabawi ?
d.
Jelaskan
Hadits sebagai laporan di sekitar nabi ?
e.
Jelaskan
bagaimana cara sahabat menerima hadits pada
masa ?
f.
Deskripsikan
perbedaan tentang boleh atau tidaknya
penulisan hadits d masa nabi ?
B.
Pengertian Hadits,Sunnah,Khobar dan Atsar
1.
Hadits
Kata al-Hadits dalam kamus besar bahasa arab, berasal dari
bahasa Arab “al-hadits” yang berarti baru,
berita. Ditinjau dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti,
dintaranya:
a.
al-jadid الجديد(sesuatu yang baru
) lawan dari al-Qadim القديم (sesuatu yang dahulu).
b.
dekat (Qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan
dari jauh (ba’id)
c. warta berita
(khabar), sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang
lain.[1]
Sedangkan
hadits secara terminologi yaitu
ما
اضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او نحوها.
“Segala sesuatu yang di sandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan(taqrir) dan sebagainya.”[2]
Sebagaimana dalam uraian di atas telah di
sebutkan bahwa hadits mencakup segala perkataan, perbuatan, taqrir Nabi SAW.
Oleh karena itu pada bahasan ini kami akan sedikit menguraikan tentang
bentuk-bentuk hadits Qauli, Fi’li, Taqrir, Hammi, dan Ahwali.
1. Hadits Qauli
yang
di maksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah beliau ucapkan
semasa hidupnya. Seperti hadits yang berbunyi:
إنما الاعمال بالنية و إنما لكل امرء ما نوي
“Bahwasanya segala amal perbuatan itu harus di dasari dengan
niatdan bagi setiap orang itu memperoleh apa yang di
niatkan”(HR.Bukhori-Muslim).
2.
Hadits Fi’li
yang di maksud dengan perbuatan adalah penjelasan praktis terhadap
peraturan syari’at yang belum jelas pelaksanaanya, seperti hadits yang
berbunyi:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي على راحلته حيث توجهت به ,
فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة.
“Konon
Rosulullah SAW sholat di atas kendaraan (menghadap qiblat).Apabila beliau
hendak sholat fardhu , beliau turun sebentar ,terus menghadap qiblat
”(HR.Bukhori)
3.
Hadits Taqriri
Taqrir adalah keadaan ketika beliau mendiamkan , tidak menyanggah
atau menyetujui apa yang telah di lakukan dan di katakana oleh para sahabat di
hadapan beliau.Contoh taqrir adalah perbuatan sahabat yang bernama Kholid bin
Walid. seperti hadits yang berbunyi:
Dalam salah satu jamuan makan, Kholid bin walid menyajikan daging biawak
dan mempersilahkan nabi untuk menikmatinya, kemudian nabi menjawab:
لا , ولكن لم يكن بارض قومي فأجدني أعافه !) قال خالد : فاجتززته ,
فأكلته , ورسول الله صلعم ينظر إلي.
“
Tidak (maaf) , Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung
kaumku , aku jijik padanya. Kholid
berkata, “segera aku memotongnya dan memakanya, sedangkan Rasulullah
SAW melihat kepadaku”.( HR.Bukhori-Muslim).
4.
Hadits Hammi
Yang di maksud hadits hammi adalah hadits
yang berupa hasrat Nabi Muhammad SAW yang belum terealisasikan, seperti halnya
hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.
حين صام رسول الله صلى الله عليه و سلم
يوم عا شوراء و أمر بصيامه, قالوا يا رسول الله إنه يوم تعظّمه اليهود والنصارى
فقال إذا كان العام المقبل إن شاء الله صمن اليوم التاسع(رواه مسلم)
“Ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan memperintahkan
para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi ! hari ini adalah hari
yang di agungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Nabi SAW bersabda: Tahun
yang akan datang insyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. (HR.
Muslim)
5. Hadits Ahwali
Yang di maksud hadits Ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW.
Yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Seperti hadits
yang di katakan oleh al-Barra’ dalam sebuah hadits riwayat Bukhori, sebagai
berikut:
كان رسول الله صلى الله عليا و سلم أحسن الناس وجها و أحسنه خلقا ليس با لطويل
البائن ولا بالقصير(رواه البخارى)
“Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh, keadaan
fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”. (HR. Bukhori)[3]
2. Sunnah
Menurut bahasa sunnah berarti
الطريقة محمودة كانت اومذمومة
“Jalan yang di tempuh, baik sifatnya
terpuji maupun tercela”
Sunnah juga
berarti sesuatu yang sudah biasa di lakukan atau yang telah menjadi tradisi.
Bentuk jamak (plural) dari kata sunnah adalah sunan (سنن). [4]
sedangkan sunnah
secara istilah menurut ahli hadits adalah
ما أثر عن النّبي صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقيّة
أو سيرة, سواء كان قبل البعثة أو بعدها.
“Segala yang bersumber
dari nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti,
perjalanan hidup. baik sebelum nabi SAW di angkat menjadi Rasul maupun
sesudahnya”.[5]
3.
Khabar
Khabar secara etimologis berarti berita. sedangkan
khabar secara terminologis sebagian ulama mengatakan bahwa hadits dan khabar
mengandung makna yang sama, keduanya mencakup segala riwayat, baik yang berupa
dari Rasul (marfu’), dari sahabat (mauquf) maupun dari tabi’in (maqthu’).[6]
Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah suatu yang datang selain dari Nabi
SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut hadits. Ada juga yang mengatakan
nahwa hadits lebih umum dan labih luas daripada khabar.[7]
4. Atsar
atsar secara bahasa
berarti bekas atau sisa dari sesuatu. Jejak langkah yang di tinggalkan
seseorang disebut sebagai atsar.[8]
Sedangkan atsar secara istilah adalah:
ما روي عن الصحابة ويجوز
إطلاقه على كلام النّبيّ أيضا
“segala
sesuatu yang di riwayatkan dari sahabat, dan boleh juga di sandarkan pada
perkataan nabi SAW”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar
sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang di sandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan
tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan atsar untuk yang mauquf dan khabar
untuk yang marfu’.
Dari keempat
pengertian tentang hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagaimana urain di atas,
dapat di tarik satu pengertian bahwa keempat istilah tersebut pada dasarnya
memiliki kesamaan maksud, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya.[9]
C. Perbedaan antara Hadits, Sunnah,Kobar dan Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan
Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama,
yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula
halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits
Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir.
Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih,
dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai hadits, sunnah, khabar, dan atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits
dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama hadits, perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari
penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama
tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hadits
dan sunnah: Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan,
taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber
dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti,
atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
2. Hadits
dan khabar: Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama
yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar
merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang
selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
"Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada
yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai
Atsar".
3. Hadits
dan atsar: Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya
dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama
dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan
tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun
membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian,
Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja,
sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.[10]
D.
Pengertian
dan Perbedaan antara Hadits Qudsy dan Hadits Nabawi
1.
Hadits
Qudsiy
Yang di maksud dengan hadits qudsiy yaitu:
كلّ حديث يضيف فيه الرسول صلّى الله عليه و سلّم قولا إلى الله عزّ وجلّ
“Setiap
hadits yang Rasul SAW menyandarkan perkataannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla”
Jumlah hadits Qudsy ini menurut
syihab al-Din ibn Hajar al-Haytami dalam “Kitab Syarah Arba’in
al-Nawawiyyah” tidak cukup banyak, yaitu berjumlah lebih dari seratus
hadits.
Hadits Qudsy
ini biasanya bercirikan sebagai berikut:
a. Ada redaksi hadits qala/yaqulu Allahu
b. Ada redaksi fi ma rawa/yarwihi ‘anillahi tabaraka
wata’ala
c. Dengan redaksi lain yang semakna redaksi diatas,
setelah penebutan rawi yang menjadi sumber pertamanya, yakni sahabat.
Bila tidak ada tanda-tanda demikian, biasanya termasuk hadits nabawi. Hadits Nabawi
adalah hadits selain hadits qudsy, dimana hadits tersebut itu di sandarkan pada
Rasulullah SAW.
Contoh
hadits qudsy:
عن أبي ذرّ عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم فيما روى عن الله تبارك و تعالى
أنّه قال يا عبادي إنّي
حرّمت الظلم على نفسي وجعلته
بينكم محرّما فلا تظلّموا...(رواه مسلم)
Dari Abi Dzarr, dari Nabi SAW, Allah SAW
berfirman:”Wahai hamba-hambaku, sungguh aku mengharamkan kedzaliman pada
diri-ku, (oleh karena itu) aku menjadikannya diantara kamu sekalian hal-hal
yang di haramkan, maka dari itu janganlah kalian pada berbuat dzalim...”(HR.
Muslim)
Contoh hadits nabawi:
لا صلاة لمن لم يقرأْْْْْْْْْْْْْْْْْْْ بفاتحة الكتاب
(رواه مسلم)
"Tidak sah
shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah Al-Kitab”. (HR. Muslim)
Perbedaan hadits qudsy dengan al-Qur’an:
a.
Semua lafad alqur’an adalah mutawatir, terjaga dari perubahan dan
penggantian karena ia adalah mukjizat, sedangkan hadits qudsy tidaklah
demikian.
b.
Ada larangan periwayatan alquran dengan makna, sementara hadits
qudsy tidak.
c.
Ketentuan hukum bagi al- Qur’an
tidak berlaku bagi hadits qudsy, seperti larangan membacanya bagi orang yang
berhadats, baik kecil maupun besar.
d.
Dinilai ibadah bagi yang membaca al-Qur’an, sementara pada hadits
qudsy tidak berlaku demikian.
e.
Al-Quran bisa di baca untuk sholat , sementara hadits qudsy
tidaklah demikian.
f.
Proses pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an dengan makna dan lafadz yang
jelas-jelas dari allah, sedangkan hadits qudsy maknanya dari allah sementara
lafadznya dari nabi sendiri.[11]
E.
Hadits
sebagai Laporan di Sekitar Nabi
1.
Hadits
sebagai Laporan di Sekitar Nabi
Hadits sebagai laporan disekitar nabi yaitu dari sudut
pandang periwayat hadits merupakan dokumen data pernyataan,perbuatan maupun
ketetapan dan persifatan atau perilaku. Semua data yang lolos seleksi merupakan
laporan otentik di sekitar nabi yang bermanfaat mengenai sesuatu yang terhubung
dan disandarkan kepada nabi saw.
Isinya yang
disebut sunnah, memuat ajaran keagamaan.Artinya, sunnah itu suatu ajaran
keagamaan yang faktanya termuat secara detail dalam hadits yang mencakup pesan
keagamaan untuk menjalani kehidupan. Jika sunnah dibedakan dengan hadits, esensinya
mengarah kepada arti bahwa sunnah adalah isi hadits, sementara hadits merupakan
rumusan naskah yang merekam dan melaporkan sunnah itu. Jadi melalui hadits, segala
sesuatu dai nabi saw sebagai laporan pernyataan, perilaku, persetujuan, tampilan
fisiknya dapat diketahui.
2.
Cara Rasul
SAW Menyampaikan hadits.
Ada tujuh
cara Rasul SAW dalam menyampaikan hadits, yaitu:
a. Tadarruj
Tadarruj adalah suatu cara
penyampaian Rasul SAW dalam memberikan pembelajaran hadits memakai metode yang
sama dengan pembelajaran al-Qur’an yaitu dengan cara
bertahap, tahapan ini berpengaruh besar terhadap pengamalan
ajaran Islam di dalam masyarakat.
b. Markaz At-Ta’lim
Rasul SAW memiliki pusat-pusat pembelajaran,
seperti Dar al-Arqam bin Abdi Manaf di Makkah
yang digunakan sebagai markas dakwah Islam pada masa awal kenabian.
Selanjutnya Rasul SAW menjadikan rumahnya menjadi pusat kegiatan, kemudian
berkembang ke masjid-masjid. Bahkan tidak terbatas pada tempat tertentu, Rasul SAW
bersedia menyampaikan pembelajaran di mana saja dan kapan saja dengan catatan
tetap menyesuaikan kondisi pendengar dengan situasi pada saat itu, jika
memungkinkan untuk dilakukan, maka Rasul SAW tidak akan membuang kesempatan
yang ada.
c.
Husn At-Tarbiyah wa Ta’lim
Kebaikan pendidikan dan pengajaran
yang diberikan Rasul SAW memberikan ketenangan tersendiri bagi para sahabat.
Saat mengajar Rasul SAW adalah pribadi guru yang lembut dalam perkataan dan
sopan dalam penyampaian, perhatian serta penuh kasih sayang, memiliki kedalaman
ilmu, dan selalu siap mengulang penjelasan bagi sahabat yang belum faham.
d.
Tanwi’ wa
Taghyir
Rasul SAW memberikan pengajaran
dengan cara memilah dan membagi masalah yang dajarkan agar sahabat mudah
memahami dan tidak jemu. Demikian juga beliau merubah pola-pola penyampaian dan
pengajaran dengan variatif.
e.
Tathbiq
Al-‘Amali
Rasul SAW tidak hanya memberikan
penjelasan kepada sahabatnya tetapi juga dalam berbagai
kesempatan ia melakukan praktek langsung terhadap
apa
yang disampaikannya.
f.
Mura’ah Al-Mustawiyat Al-Mukhtalifah
Dalam melakukan pengajaran Rasul SAW
selalu mempertimbangkan kondisi objektif, psikologis dan kecerdasan orang yang
bertanya kepadanya. Hal ini terlihat jelas ketika Rasul SAW ditanya tentang
permasalahan yang sama, maka beliau menjawab persoalannya dengan jawaban yang
tidak sama.
g.
Taisir wa’Adam At-Tasydid
Untuk menyebarkan dan
menyampaikan Islam, Rasul SAW menempuh jalan tegas, tetapi tetap memiih yang
termudah dan terlonggar. Dalam mengajarkan hukum-hukum agama kepada kaum
muslimin, begitu menggunakan metode paling mudah dan paling cepat diterima
masyarakat. Rasul SAW dalam hal ini bersabda:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA: Nabi Muhammad
SAW pernah bersabda: “Ringankanlah orang-orang (dalam masalah-masalah agama) dan
janganlah membuatnya menjadi sukar bagi mereka dan berilah mereka kabar gembira
dan jangan membuat mereka melarikan diri (dari Islam).” (HR. Bukhari)
h.
Ta’lim Al-Nisa
Rasul s.a.w bersabda :
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA: Beberapa
orang perempuan memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk memberi mereka waktu
secara terpisah selama sehari sebab kaum pria telah mengambil seluruh waktunya.
Mendengar permintaan itu, Nabi Muhammad SAW menjadikan kepada mereka satu hari
untuk memberikan pelajaran dan perintah-perintah agama… “ (HR. Bukhari)
Hadits di atas
menerangkan bahwa Rasul SAW bukan saja memperhatikan pendidikan
untuk kaum pria saja, beliau bahkan menyediakan waaktu belajar khusus buat kaum
wanita. Demikianlah cara-cara yang ditempuh Rasul SAW untuk menyampaikan
pembelajaran, dan cara-cara ini membuktikan bahwa beliau adalah guru terbaik di
dunia.
M. Syuhudi Ismail menuliskan Nabi
Muhammad SAW hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasinya dengan masyarakat
terjadi tidak hanya satu arah saja, tetapi juga dua arah secara timbal balik.
Tidak jarang, Nabi Muhammad menerima pertanyaan dari sahabatnya, dan dalam
kesempatan lain beliau memberi komentar peristiwa yang sedang terjadi. Karena
itu hadits Nabi SAW ada yang didahului oleh sebab dan ada juga yang tanpa
sebab.[12]
F.
Cara Sahabat
Menerima dan Menyampaikan Hadits pada Masa Rasul
1.
Cara Sahabat
Menerima Hadits
Para sahabat hidup bersama Rasul SAW mereka berinteraksi dengan Rasul SAW setiap harinya diberbagai waktu dan tempat. Walaupun
tidak semua sahabat dapat bersama-sama berinteraksi secara rutinitas dengan
Rasul SAW dan ketidakhadiran mereka disebabkan beberapa hal, diantaranya karena
kesibukan akan tugas sehari-hari, karena tempat tinggalnya yang jauh, dan
karena rasa malu jika bertanya secara langsung kepada Rasul
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa seluruh
perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi
sasaran perhatian para sahaban t. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan
sebagai pedoman hidup.[13]
Berdasarkan
kondisi para sahabat yang beragam, M. Ajaj Al-Khatib menuliskan empat cara
sahabat memperoleh hadits dari
Rasul SAW yaitu sebagai berikut :
a.
Majlis –
majlis Rasul
b.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada diri Rasul
c.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada kaum muslimin
d. Berbagai
peristiwa dan kejadian yang disaksikan oleh sahabat sebagaimana Rasul SAW
melaksanakannya.
Dari keempat
cara tersebut, secara mendalam dapat dibagi lagi pada dua cara, yaitu:
a.
Secara
Langsung dan
b.
Secara Tidak
Langsung
Adapun
maksud secara langsung adalah para sahabat melihat,
mendengar, dan menyaksikan secara langsung apa yang dilakukan oleh Rasulullah,
baik saat mengikuti pengajian, atau dalam keadaan lain, di mana para sahabat
berada bersama Rasul pada saat itu.
Secara
langsung dapat bertempat di majlis-majlis Rasul SAW Di majlis-majlis ini para
sahabat bukan saja melihat dan mendengar Rasul SAW menyampaikan hadits, tapi
lebih dalam daripada itu, mereka memahami dengan jelas apa yang telah
disampaikan oleh Rasul SAW Di dalam pertemuan itu, para sahabat dapat bertanya
dan mendapatkan jawaban perihal masalah pribadi, masalah-masalah yang terjadi
dalam kehidupan kaum muslimin, masalah praktek keagamaan dan masalah – masalah
lainnya.
Pengertian
secara tidak langsung adalah para sahabat tidak langsung menerima hadits dari
Rasul SAW, hal ini disebabkan karena kesibukan yang menghalangi atau karena
jarak yang ditempuh untuk mengikuti pengajian Rasul SAW cukup jauh. Karena itu
para sahabat yang hadir biasanya memberitahukan kepada mereka yang tidak hadir
apa yang mereka dapat saat mengikuti majlis Rasul SAW, atau sebaliknya, dan
juga ada sahabat disebabkan rasa malu untuk bertanya masalah pribadinya, ia
menitipkan pertanyaan kepada sahabat lainnya untuk ditanyakan kepada Rasul SAW,
atau Rasul SAW sendiri meminta istrinya untuk menjelaskan masalah-masalah yang
berhubungan dengan kewanitaan.[14]
Berikut ini
beberapa hadits Rasul SAW mengenai pembahasan cara sahabat menerima hadits dari
Rasul SAW:
a. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah :
“Diriwayatkan
oleh Abu Bakrah : … Adalah tugas yang hadir hari ini untuk memberitahukannya
kepada orang-orang yang tidak hadir (hari ini) sebab mereka yang tidak hadir
barangkali lebih baik pemahamannya daripada mereka yang tidak hadir hari ini. “
(HR. Bukhari)
b. Hadits yang diriwayatkan dari Ali RA :
“Diriwayatkan dari Ali RA: Aku sering keluar madzdza’ (cairan yang keluar dari
kemaluan bukan karena melakukan hubungan seksual) maka aku meminta Miqdad untuk
menanyakannya dan Nabi s.a.w menjawab. ‘Cukuplah berwudhu”
c. T.M. Hasbi
Ash Shiddieqy menuliskan Umar Ibn Khaththab, menurut Riwayat al-Bukhary
menerangkan :
“Aku dan
seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshar bertempat di kampung Umayyah
Ibn Yazid, sebuah kampung yang juh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti
datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, aku beritakan kepada
tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. Kalau dia yang pergi demikian
juga. … “[15]
2.
Cara Sahabat Menyampaikan Hadits
Setelah mereka menerima hadits dari Rasul SAW, para sahabatpun menyampaikan hadits kepada sahabat
lain yang tidak hadir. Ada perbedaan lafaz saat sahabat menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an
dan saat menyampaikan hadits dari Rasul SAW, M. Noor Sulaiman menjelaskan jika
berkenaan dengan wahyu, maka sahabat menyampaikannya secara lafdzi (harfiah) sebagaimana yang mereka
terima dari Rasul SAW.[16]
Sedangkan penyampaian hadIts dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu :
a.
Dengan lafaz
asli atau disebut juga lafzhiyyah,
Maksudnya adalah mereka
melafazkan sesuai dengan lafaz yang mereka terima dari Rasul. Sahabat yang melakukan cara ini karena kuat daya ingat
dan daya hafalnya, di samping itu saat Rasulullah menyampaikan hadits yang
khusus dalam kajian ini adalah hadits qauli.
b.
Dengan makna
(ma’nawi)
Maksudnya para sahabat menyampaikan hadits
yang isinya berdasarkan apa yang disampaikan Rasul SAW tetapi redaksinya disusun sendiri oleh mereka.
G.
Perbedaan
tentang Boleh atau Tidaknya
Penulisan Hadits di Masa Nabi
Pembahasan
ini cukup menarik untuk dibahas, karena dalam sejarah penulisan hadits di masa
Rasul SAW, beliau bukan saja pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits,
akan tetapi juga pernah menyuruh untuk menuliskan hadits beliau.
M. Syuhudi
Ismail menyatakan bahwa kebijaksanaan Nabi tersebut telah menimbulkan
terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahkan di kalangan sahabat
Nabi, tentang boleh atau tidak bolehnya penulisan hadits.[17]
1. Larangan Penulisan Hadits
Rasul s.a.w
pernah melarang para sahabat untuk menuliskan hadits, beliau bersabda :
“Diriwayatkan
dari Abu Sa’id al-Khudri : Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mencatat Sunnahku.
Barang siapa mencatat selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya. Dan ceritakan saja tentangku, tidak ada dosa
atasnya. Barang siapa berbuat bohong mengatasnamakanku dengan sengaja (padahal
aku tidak mengatakannya), hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati tempat
duduknya dari apa neraka. “ (HR. Muslim)
2.
Perintah Penulisan Hadits
Rasul SAW memerintahkan penulisan hadits melalui sabdanya :
“Dari Rafi’
Ibn Khudaij bahwa ia menceritakan, kami bertanya kepada Rasul SAW
‘ Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak hadits, apakah
boleh kami menuliskannya ? Rasulullah menjawab, ‘ Tuliskanah
oleh kamu
untukku dan tidak ada kesulitan. “ (HR. Khatib)[18]
Kemudian
hadits ‘Abd Allah ibn ‘Amr :
“ Dari ‘Abd
Allah ibn ‘Amr, aku berkata, (Bolehkah) aku menuliskan apa yang aku dengar dari
engkau ? Rasulullah SAW menjawab,
‘Boleh’ Aku berkata selanjutnya, ‘ Dalam keadaan marah dan senang ?’ Rasul SAW menjawab lagi, ‘ Ya, sesungguhnya
aku tidak mengatakan sesuatu
kecuali yang haq (kebenaran). “ (HR. Ahmad)
Sikap ulama
dalam menghadapi permasalahan dalam menuliskan hadits-hadits, menurut Ajjaj
al-Khatib ada empat pendapat dalam rangka mengkompromikan dua kelompok hadits
yang bertentangan sebagai berikut:
1. Menurut Imam Bukhari, hadits Abu Sa’id al- Khudri di
atas adalah mauquf dan
karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Tetapi, pendapat ini ditolak, sebab
menurut Imam Muslim hadits tersebut adalah sahih.
2. Larangan
menuliskan hadits terjadi pada masa awal Islam yang ketika itu dikhawatirkan
terjadinya pencampuradukan antara hadits dengan al-Qur’an. Tetapi, setelah umat Islam bertambah banyak dan mereka telah dapat
membedakan antara hadits dan al-Qur’an, maka
hilanglah kekhawatiran itu dan, karenanya mereka diperkenankan untuk
menuliskannya.
3.
Larangan
tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat sehingga
mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehannya diberikan kepada
mereka yang hafalannya kurang baik seperti Abu Syah.
4.
Larangan
tersebut bersifat umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus kepada
mereka yang pandai membaca dan menulis sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
menuliskannya, seperti ‘Abd Allah ibn ‘Amr yang sangat dipercaya oleh Nabi SAW
Pendapat ‘Ajjaj al-Khatib dalam menghadapi perbedaan
di atas yaitu menurutnya pendapat pertama dapat diterima bahwa hadits Abu Sa’id
al-Khudri adalah sahih dan dapat dijadikan hukum, sedangkan tiga pendapat
berikutnya, ‘Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa larangan menuliskan hadits dan
al-Qur’an pada lembaran yang sama adalah logis dan dapat diterima, karena
kekhawatiran terjadi percampur-adukan antara hadits dan al-Qur’an, begitu juga
penulisannya di awal Islam dengan maksud agar umat lebih fokus terhadap Alquran.
Namun, terkhusus bagi mereka yang sudah dapat membedakan antara al-Qur’an dan hadits, serta bagi mereka yang tidak kuat
ingatnnya diperbolehkan untuk menuliskannya. Dan pada perkembangan selanjutnya
saat umat Islam sudah bisa menghafal dan memelihara Alquran dan mampu
membedakan antara Alquran dan hadits, maka larangan menuliskan Hadits pun berakhir.[19]
H. Kesimpulan
Rasulullah SAW adalah guru terbaik, sang motivator, dan penabur
hikmah. Beliau memiliki cara agar pembelajaran tidak membosankan, agar para
sahabat selalu tertarik untuk datang ke majlis pengajian, cara yang dipakai di
antaranya tadarruj, markaz at-ta’lim, husn at-tarbiyah wa ta’lim, tanwi’
wa taghyir, tathbiq al-‘amali, mura’ah al-mustawiyat al-mukhtalifah, taisir wa’adam at-tasydid, dan ta’lim al-nisa.’
Cara sahabat dalam menerima hadits Rasul beragam, hal
ini berdasarkan kondisi dari para sahabat itu sendiri, seperti kesibukan akan
tugas-tugas mereka, tempat tinggal yang jauh, dan lain sebagainya, karena itu
para sahabat dalam menerima hadits dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung, di antaranya adalah dengan mengikuti langsung
majelis-majelis pengajian yang dilakukan Rasul SAW, dan para sahabat yang tidak
dapat mengikuti langsung majelis tersebut karena sebab tertentu akan
mendapatkan informasi dari para sahabat lain yang hadir dalam majelis Rasul,
sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari Rasul tanpa ada cela sedikitpun,
baik dari segi lafaz maupun maknanya.
Mengenai penulisan hadits, Rasul pernah melarang para
sahabat untuk menulis hadits pada awal keIslaman, hal ini terjadi disebabkan
adanya kekhawatiran akan tercampurnya dengan al-Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya Rasul memerintahkan
penulisan hadits, karena jumlah umat Islam sudah semakin banyak dan mampu untuk
membedakan antara hadits dan al-Qur’an ditambah lagi adanya para sahabat yang
memiliki kemampuan dalam hal membaca dan menulis.
I.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan, semoga dengan
pembahasan tadi kita dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hadits dan bisa menambah cakrawala pengetahuan
terkait dengan ilmu-ilmu hadits.
Cukup
sekian makalah yang dapat kami sajikan, bila ada kritik dan saran yang bersifat
konstruktif, kami mohon untuk di sampaikan demi pembelajaran kita semua untuk
menuju arah yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Suryadilaga Dr. M. Alfatih,
dkk. 2010. ULUMUL HADIS. Yogyakarta :
Teras.
Amin Prof. Dr. H. Muhammadiyyah, M.Ag. 2008. ILMU HADIS. Yogyakarta :
Sultan Amail Press.
Supatra Drs. Munzier, MA. 2003. ILMU HADIS . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ash-Shiddiqy
T. M. Hasbi. 2010. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits.
cet.5. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
Sulaiman
M.Noor PL. 2008. Antologi Ilmu Hadits, cet.1.
Jakarta: Gaung Persada Press.
Ismail M. Syuhudi. 1992. Metodologi
Penulisan Hadits Nabi, cet 1. Jakarta: Bulan Bintang.
Yuslem
Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta:
PT.Mutiara Sumber Widya.
[1] Dr. M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, ULUMUL HADIS, (Yogyakarta : Teras, 2010), hlm. 20
[2] Prof. Dr. H.
Muhammadiyyah Amin, M.Ag, ILMU HADIS,
(Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 1
[3] Drs. Munzier
Supatra, MA, ILMU HADIS (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm.18
[4] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag, ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail
Press, 2008), hlm. 4
[6] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag, ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail
Press, 2008), hlm. 4
[8] Prof. Dr. H.
Muhammadiyyah Amin, M.Ag, ILMU HADIS,
(Yogyakarta : Sultan Amail Press, 2008), hlm. 4
[10] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag, ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail
Press, 2008), hlm. 7
[12] Prof. Dr. H. Muhammadiyyah Amin, M.Ag, ILMU HADIS, (Yogyakarta : Sultan Amail
Press, 2008), hlm. 28
[13] T. M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, cet.5 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 10
[17] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penulisan Hadits Nabi, cet 1
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 11